Kata-kata Mati di Ceruk Jariku

〃
2 min readFeb 17, 2024

Pulpen ini hanya nangkring, Bu. Tintanya sudah habis dari semester lalu. Yang sempat tertulis hanya judul-judul yang, toh, nantinya juga terbengkalai. Mungkin inilah yang disebut kematian pertama seorang penulis. Ketika majasnya dibilang terlalu menggelapkan realita. Saat telah ia sajikan mentah dirinya dalam lembaran kertas, tetapi tak ada yang mampir membaca.

Aku selalu dan hanya menulis tentang diriku. Tetapi diriku itu siapa? Identitasku masih terkonstruksi atas apa yang kulihat dan kudengar. Sehingga saat kututup mata dan telingaku, aku pun dapat menghilang semauku. “Diriku” yang kukenal juga seorang perasa, terlampau dalam bahkan. Maka maafkan jika tulisanku hanya perihal urusan hati. Aku masih mengikir jeruji ini, agar bebas olehku berkata-kata tentang dunia ini dan orang-orang di dalamnya.

Yakinkan aku, Bu, jika dunia tidak hanya sebatas volume tempurung kepalaku. Ia penuh atas hal yang belum kuketahui. Dan bumi juga tidak sebesar kepalan tanganku, sebab tak semuanya harus ada dalam kendaliku.

Bu, Aku tidak lagi pandai mengeluh. Di semesta ini aku menumpahkan banyak sekali kopi. Tapi tanpanya tak akan tahu bahwa kemeja kesayanganku memang berteriak untuk dicuci. Sesuatu yang kita tidak tahu akan kita butuhkan datang dari hal yang dapat terlihat sebagai penyesalan belaka.

Oleh karena itu, aku ingin terus belajar, terus menulis tanpa peduli berapa pasang mata yang menelisik tiap barisnya. Tak ingin lagi aku mengindahkan yang indah, sebab aku mati karenanya. Akan kubuka tiap halamanku kepada diriku semata, agar dilihatnya seberapa jauh ia telah melangkah, dan seberapa kuat dirinya setelah ribuan tetes air mata.

Kata-kata mati di ceruk jariku, Bu. Tetapi aku hidup. Aku hidup.

--

--